Perpus Semesta

Perpustakaan & Kolektif Buku

Sekali Lagi, Menulis! Dan Jangan Mengemis

Oleh: Boy Nugroho

Salah satu omong kosong terbesar dari manusia saat ini adalah; bahwa mereka tidak bisa menulis. Pernyataan yang menggelikan dan jika kalimat tersebut diamini, lebih baik mereka pulang saja ke jaman batu. Setiap manusia yang mengenal dan memahami aksara sejatinya harus bisa menulis dan tentu pun membaca. Seperti halnya manusia yang dibekali alat birahi, mereka tentunya punya kesempatan untuk onani atau masturbasi.

Lalu, muncul omong kosong lain yang tak lebih dari racauan hasil tradisi kapitalisme yang membosankan; menulis akan menghilangkan penderitaan, vice versa dengan membaca. Seolah-olah aktivitas menulis cuma sekadar ramuan mujarab yang bisa dengan seketika melenyapkan segala masalah personal di muka bumi. Jangan terburu berlari pada kesimpulan semacam itu. Lebih penting lagi, yang saya tekankan di sini ialah ‘aktivitas menulis’ bukan ‘tulisan’. Segala bentuk tulisan tentu berpotensi untuk menantang setiap persoalan yang terserak berceceran di masing-masing lini kehidupan. Karena ‘tulisan’ jika dikembalikan pada fungsinya adalah media untuk menyampaikan pesan, menaburkan makna dan menjaring kemungkinan-kemungkinan jawaban. Jika sebuah ‘tulisan’ mampu meringankan penderitaan, aktivitas ‘menulis’ belum bisa menggeser kedudukan ‘tulisan’. Karena ‘menulis’ adalah tugas, bukan jawaban. ‘Menulis’ menjadi bagian dari kegiatan filantropis yang cenderung diremehkan oleh manusia dan dengan semena-mena mengidentifikasikan diri mereka sebagai pihak yang tak berdosa jika mengaku tak bisa menulis.

Menulis dan Penderitaan

Mengutip Sartre di bagian Writing for One’s Age dalam What is Literature?, tidak benar bahwa seorang pengarang meneruskan pada orang lain penderitaan-penderitaan dan kesalahan-kesalahannya sebagai kemutlakan ketika dia menulis tentang penderitaan dan kesalahannya itu. Sartre memberi contoh, dikatakan seorang lelaki yang telah menikah dan tidak bahagia, lalu menulis tentang ketidakbahagiaannya itu ke dalam sebuah buku yang menarik. Mudah sekali dibayangkan, lebah membuat madu dengan bunga karena dia bekerja dengan sari bunga, sesuatu yang nyata dan benar-benar diubah menjadi bentuk lain. Namun, dengan KATA-KATA-lah dan bukan dengan PENDERITAAN-nya seorang penulis mengarang buku. Kita tidak menaruh penderitaan kita ke dalam buku, dan demikian pula tidak menaruh seorang model di atas kanvas; kita mendapat ilham dari penderitaan kita, dan penderitaan itu TETAP penderitaan. Barangkali perasaan lega akan dituai ketika buku tersebut usai dituliskan, namun begitu buku tersebut rampung ditulis, penderitaan itu kembali seperti semula, dan ternyata menulis cuma menjadi proses neurosis yang kadang tidak efektif bagi para pelakunya.

Kembali pada persoalan ‘menulis’, menulis adalah tugas, dan tugas bukan untuk diremehkan atau ditinggalkan. Menulis juga bukan sarana pemuasan diri yang berujung pada kecenderungan sikap yang narsistik dan egosentris. Jika Anda menginginkan puja-puji yang basah dan penuh desah basa-basi, silakan berpuas diri dengan melacurkan kata-kata di jaring-jaring sosial yang sekarang cenderung menjemukan dan memuakkan. ‘Menulis’ adalah tugas, dan kata ‘tugas’ selalu bersekutu dengan makna ‘tanggung jawab.’ Bahkan jika Anda seorang yang bukan filantropis dan sangat apatis namun tetap setia pada aktivitas ‘menulis’, kedudukan Anda lebih mulia dari pada mereka yang mengaku sebagai penulis namun terlalu pelit untuk mendermakan kata di hadapan publik dan malah sering mengutip kata-kata orang lain demi orgasme pribadi. Menulislah! Karena dengan menulis, niscaya kita akan menjadi pribadi yang tak mudah mengemis.

2 comments on “Sekali Lagi, Menulis! Dan Jangan Mengemis

  1. avikrahman
    April 12, 2012

    Reblogged this on avikrahman.

Leave a comment

Information

This entry was posted on April 6, 2012 by in Artikel and tagged , , .